16.6.12

Bonjourno!



Dengan tenang ia berkata, “bukan maksudku untuk munafik, tapi tetap saja akhirat itu harus dipikirkan”. Ia pun kembali meneguk macchiato favoritnya.

Aku hanya tersenyum geli mendengar jawaban temanku yang sedang menjadi bintang pujaan di negeri ini, walaupun memang mulai sedikit redup sinarnya. Ia selalu pandai membuat hidupnya menjadi bahan berita yang bukan sembarangan tapi fenomenal.

“terus apa rencanamu sekarang?” tanyaku. “Segera saja kau tinggalkan kota ini sesaat, berlibur ke luar negeri atau ziarah jika perlu, tapi jangan ke Bangkok lagi!”

Ia pun tertawa dengan merdu dan sedikit menggelengkan kepala. Ia menegaskan bahwa tidak mungkin kota itu lagi yang dia tuju.

“Sudah terlalu banyak orang di negeri ini yang tahu hal itu, aku bukan orang bodoh lah!” katanya bersungguh-sungguh.

Aku pun langsung membuka laptop dan mencari tiket pesawat untuknya, yang pasti bukan maskapai utama negara ini. Ia sudah terlalu sering memakainya, wartawan sudah barang tentu akan mengejarnya demi berita provokatif. Semoga saja situasi ini membuatnya untuk tidak menolak tawaranku memakai low-cost airline favoritku. Lagi pula aku juga perlu berlibur sejenak setelah keluar dari kantorku minggu ini.

Sambil membaca-baca majalah perjalanan yang ada di café itu, ia pun sedikit tersenyum seperti mendapat pencerahan dari langit. “Bagaimana? Sudah menemukan tempat yang kau mau?” tanyaku.

Aku mengambil majalah yang dibacanya. “Roma! kita ke sana saja! Aku juga bisa mampir Vatikan untuk ziarah sebentar. Ini juga akan jadi berita bagus.” terangnya.

Keputusan yang tepat, pikirku. Temanku ini memang terlampau cerdas untuk sekedar mempertahankan popularitasnya sebagai penyanyi. Tiba-tiba saja sahabat kami, Prabu, sudah muncul dan langsung duduk di sebelahnya. Tanpa pikir panjang, ia pun memutuskan untuk ikut mendengar rencana kami. Profesinya sebagai penulis lepas majalah Life Style juga mengharuskannya mencari ide cemerlang di tempat semenarik Roma dan Vatikan.

“3 minggu lagi kita berangkat.” Mereka mengangguk. “aku akan cari tiket yang paling aman, nyaman dan murah. Hotel urusanmu Prabu! lalu Kenes akan menentukan tujuannya,” kataku sedikit memimpin.

Memang ini yang biasanya kita lakukan saat berlibur, namun bedanya kali ini Kenes membutuhkan waktu khusus untuk menenangkan diri lebih banyak dari masalah pemberitaan dirinya. Dan ziarah bisa menjadi kunci jawaban hidupnya sekaligus “provokasi” demi karirnya, setidaknya untuk lima tahun ke depan. Pundi-pundi bekal pension kurang lebih bisa dimaksimalkan juga.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


“Terminal 3, langsung masuk tol dalam kota ya pak!” perintahku pada supir taksi yang kami naiki.

“Ternyata kamu benar-benar serius membawa kami menjadi petualang sejati, Banyu. Apa kamu tidak ingat ada sosok ‘terhormat’ bersama kita saat ini?” Prabu bertanya padaku sambil memastikan bahwa perjalanan ini akan ditempuh ala backpacker.

“Kalian belum terlalu mengenal aku rupanya,” timpal Kenes langsung, penuh ketegasan. “Lihat saja nanti siapa yang akan bertahan tanpa mengeluh pada liburan ini.”

Berbeda dengan perjalanan yang biasa kami lakukan, aku memang sengaja merancang sedikit lebih seru dan menantang. Penerbangan Jakarta – Kuala Lumpur – Amsterdam – Eindhoven – Praha – Roma dengan maskapai yang berbeda. Konsekuensinya? Tentu saja harus keluar masuk urus bagasi dan tentu saja menjadi sangat lama. Tapi itu memang tujuan setiap kami, menghabiskan waktu bersama.

“Aku sudah membatalkannya,” Kenes membuka pembicaraan dalam kereta menuju Eindhoven di Belanda. “Itu keputusan yang kuambil, aku tidak mau berpura-pura menyangkal diri lagi. Permintaanya semakin hari semakin aneh, aku terjebak.”

Pernyataan yang membuat aku dan Prabu cukup kaget. Setahu kami tidak ada cerita sedih dalam diri Kenes selama tiga minggu ini, apalagi masalah pembatalan.

“Apa yang kamu maksud, Kenes? Pembatalan apa? Kontrak album?” Prabu bertanya dengan sedikit mendesak.

Dengan sedikit meneteskan air mata, Kenes pun memulai pengakuannya yang selama ini tengah ditutupinya. “Apa kalian ingat saat kita semua tertawa sinis kala menonton infotainment di tv? Ya, saat itu kita semua jijik ketika Banyu mengatakan salah seorang penyanyi dangdut sangat murahan. Jual diri untuk menjadi tenar dan kaya raya di mana gengsi menjadi pendorongnya.” Tatapan tajam Kenes yang berlinang mengiringi setiap katanya. “Kurang lebih itulah yang aku lakukan sekarang. Tidak lebih hormat dari biduanita dangdut itu.”

Mukaku pun merah padam, ingin rasanya aku pergi dan lompat meninggalkan kedua temanku. Sedih, kecewa dan perasaan bangga akan kejujuran Kenes meliputi seluruh batinku serta kelelahan raga ini.

“Bagaimana semua ini bisa terjadi?” tanyaku dengan sedikit menarik nafas untuk menenangkan diri. “Bukankah menjadi penyanyi adalah impianmu?! Kita semua ikut bersama perjuanganmu meraih kesuksesan saat ini kan.”

“Memang, tapi ini semua kumulai dari bantuan seorang pengusaha yang pernah media sebut berasal dari ‘antah berantah’, daerah yang tidak mungkin ada di pikiran kalian.” Kali ini Kenes sudah tidak mampu menahan air matanya. Penerbangan ke Praha dan Roma pun kami lalui dengan kesunyian, diam.

bersambung......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar